Jobubu Jarum Minahasa

Aksi Serius Cap Tikus

Cap Tikus sudah lama dikenal sebagai minuman berkadar alkohol tinggi. Bagi PT Jobubu Jarum Minahasa Tbk, Cap Tikus tidak hanya menguntungkan, tapi juga memberikan manfaat bagi 30.000 kepala keluarga petani air nira.

KALA KELUARGA Nico Lieke mendirikan bisnis penyulingan Cap Tikus pada 1978, cara produksi sopi tersebut masihlah tradisional dan berskala kecil. Pengelolaan bisnisnya pun belum tertata.

Puluhan tahun kemudian pada 2018, dia dan sang adik, Audy Charles Lieke membeli seluruh saham bisnis keluarganya itu dan mendirikan PT Jobubu Jarum Minahasa—kini menjadi ‘rumah’ bagi produk bernama resmi Cap Tikus 1978—dengan metode yang diterapkan untuk menghasilkan produknya telah jauh berubah. Pun tata kelola bisnisnya, yang sejak “tahun 1978...sudah memiliki izin resmi memproduksi minuman berkadar alkohol 1-55 persen,” kata Nico kepada Fortune Indonesia (2/5).

Pria yang merupakan komisaris utama Jobubu itu mengaku sebelum 2018 sama sekali tidak percaya diri membawa perusahaan menjadi lebih besar dengan tata kelola profesional. Pasalnya, Cap Tikus tidak sanggup bersaing di tengah gempuran minuman alkohol berkelas dunia yang masuk tanpa cukai dari pasar gelap dan dijual sangat murah.


Dia mencontohkan ada minuman dengan jenama internasional yang dihargai Rp400.000, sementara Cap Tikus keluaran pabriknya dibanderol Rp200.000 dengan ukuran sama. Nico hanya bisa pasrah. Siapa yang mau beli produknya jika selisih harga begitu tipis. Tetapi, pada suatu waktu, seorang rekannya dari pemerintahan meyakinkan bersaudara Nico
dan Audy untuk lebih serius mengurus Cap Tikus, dan itu hanya dapat dilakukan dalam naungan perusahaan resmi. Pada saat bersamaan, pemerintah merilis program pengampunan pajak atau tax amnesty pada 2016 dan membuat berbagai kebijakan untuk mengawasi peredaran minuman beralkohol di Indonesia secara lebih ketat. Merek internasional yang tadinya beredar di pasar dengan harga Rp400.000 harganya naik jadi Rp900.000-an.

Alumnus The Wharton School of Business, Pennsylvania, pada 1997 itu pun dapat bernafas lebih lega. Menurutnya pemerintah telah melakukan sesuatu yang tepat lewat program fiskal tersebut. “Kami sangat mendukung hal ini karena kami yang [berdagang] dengan jujur bisa terus hidup,” ujarnya.

Kejujuran dan tata kelola yang bersih merupakan komitmen bersama Nico dan Audy. Terlebih, usaha mereka bersinggungan dengan produk beralkohol yang kerap dipandang miring. Dalam hemat Nico, integritas merupakan salah satu nilai penting yang dianut Jobubu untuk bisa terus beroperasi secara berkelanjutan. Minuman beralkohol termasuk sebagai objek pengawasan ketat dari negara yang memiliki memiliki high barrier of entry, kata Audy, Direktur Utama Jobubu. “Namun kami bersih dari hulu ke hilir, soal bea cukai dan pajak dari setiap produksi. Semua kami penuhi tanpa kecurangan dari A sampai Z,” ujarnya kepada Fortune Indonesia (2/5).

Pengakuan tersebut muncul sebagai tanggapan atas perspektif negatif yang mendera bisnisnya pada periode awal beroperasi. berbagai pandangan dan komentar tidak mengenakkan datang silih berganti sebagai ujian. Dan ketika akhirnya pihak-pihak itu memberikan pengakuan bahwa bisnis Jobubu bersih, Nico dan Audy merasa bahwa mereka lulus ujian.

Apalagi, Jobubu memberikan bukti nyata ke lingkungannya dengan menjadi perusahaan yang menjadi penyumbang cukai terbesar pada 2020-2023 untuk kawasan Sulawesi bagian Utara (Sulbagtara) yang meliputi Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah. Selain itu, Jobubu juga pernah dinobatkan sebagai Perusahaan Cukai Teraktif Tahun 2021 dan Pengguna Jasa Terbaik di Bidang Cukai Tahun 2023. Bahkan, Kantor Wilayah Bea dan Cukai Sulbagtara mengakui bahwa kontribusi Jobubu pada penerimaan negara mencapai 95 persen.

“Apa yang kami omongkan itu benar-benar kami jalankan. Penghasilannya benar kok. Bahkan mereka selalu cek. Dengan ini, maka timbul trust dari pemerintah, sehingga mereka mendukung kami,” ujar Audy yang menambahkan bahwa produk-produknya aman karena menggunakan bahan alami dan tidak menyertakan methanol yang merupakan racun dalam alkohol.

 “Jenis oplosan yang ilegal biasanya masih mengandung  racun, sementara Cap Tikus sejak 1978 bersih dari racun. Kami telah mendapat sertifikasi BPOM, HACCP (Hazard Analysis Control and Critical Points), bahkan ISO 22000— sertifikasi tertinggi kebersihan dan keamanan pangan.

Jobubu juga bergerak dengan memperhatikan asas keberman- faatan, dan di antara praktik terpentingnya adalah pemberdayaan para petani Minahasa yang telah turun-temurun hidup dari menyadap nira. Audy mengatakan perusahaannya yang mengambil bahan baku produknya dari sekitar 30.000 petani bukan semata sebagai tanggung jawab perusahaan, tapi juga bagian penting dari keberlangsungan Jobubu. Bahkan, Audy meyakinkan bahwa perusahaan tidak akan membuat perkebunan sendiri karena menginginkan 100 persen bahan baku Cap Tikus tetap diambil dari para petani Minahasa melalui koperasi-koperasi yang bekerja sama dan dibina Jojobu.

Langkah tersebut memang tidak serta-merta membuat semua hasil panen nira sesuai dengan standar kualitas perusahaan, kata Nico. Namun, teknologi pengolahan dapat menyiasati kekurangan tersebut. Dari sumber yang tidak sesuai standar itu, perusahaan akan melakukan fermentasi dan melakukan proses destilasi berulang kali hingga mencapai kualitas yang diinginkan.

“Banyak petani yang bahkan bisa menyekolahkan anaknya dari penjualan air nira ini,” ujarnya.

Meski demikian, puluhan ribu petani yang membantu Jobubu dalam hal sumber nira tersebut hanya memenuhi sekitar 2 persen kapasitas produksi minuman beralkohol yang Jobubu hasilkan. Padahal izin yang telah dikantongi perusahaan untuk memproduksi minuman keras dengan total kapasitas 90 juta liter per tahun— saat ini kapasitas produksi yang terpakai Jobubu berkisar 180.000 liter—dapat mendongkrak peluang untuk mempekerjakan lebih banyak petani aren.

Dari total kapasitas tersebut, Jobubu membaginya menjadi beberapa: 45 juta liter untuk golongan A (kadar alkohol 0,1–5 persen) yang diwakili oleh Daebak Spark yang berkadar 5 persen; 22,5 juta liter untuk golongan B (kadar 5,01–20 persen) yang diisi Soju Daebak dengan kandungan 12–19,9 persen; dan 22,5 juta liter untuk golongan C (kadar 20,01–55 persen) yang diwakili oleh Cap Tikus yang kadar alkoholnya 43 persen. Dengan produksi yang baru memenuhi 2 persen dari total kapasitas, produksi Jobubu masih bisa tumbuh hingga 50 kali lipat.

“Izin produksi kami yang kedua terbesar di Indonesia [untuk produsen minuman alkohol. Tapi, produsen terbesar hanya bisa produksi minuman alkohol golongan A, sementara kami bisa menyediakan banyak ruang untuk produk dari semua golongan,” kata Nico.

Potensi besar yang barusan disebut bukan hanya mimpi belaka. Perusahaan membuktikannya dengan laporan kinerja positif
dari tahun ke tahun. Pada 2020, pendapatannya mencapai Rp17,65 miliar dengan laba tahun berjalan mencapai Rp1,03 miliar. Sementara pada 2023, pendapatannya telah mencapai Rp90,09 miliar dengan laba tahun berjalan Rp16,31 miliar.

Lonjakan kinerja itulah yang menjadi landasan keputusan perusahaan untuk melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode emiten BEER pada awal 2023. “Perusahaan minuman beralkohol itu sering dianggap dekat dengan dunia gelap. Tetapi, lewat IPO pada 2023, kami mau berbisnis dengan bersih. Banyak kok perusahaan whisky, soju, sake, atau bir yang juga jadi perusahaan terbuka. Mereka berkontribusi banyak buat negara. [IPO] ini sudah kami rancang sejak 2019,” kata Nico.

Menurutnya, dengan menjadi perusahaan terbuka, Jobubu akan lebih transparan lagi di mata publik sebagai perusahaan yang memang menjalankan bisnis minuman beralkohol. Namun, di sisi lain, perusahaan pun wajib untuk terus menjamin tata kelola perusahaan yang patuh regulasi dan menjaga kualitas produk-produknya.

Nico menyatakan tidak mudah bagi perusahaan minuman alkohol untuk bisa melantai di BEI, mengingat selama bertahun-tahun hanya ada dua emiten minuman alkohol yang jadi emiten, yakni Multi Bintang (MLBI) dan Delta (DLTA), sampai akhirnya BEER dan produsen wine asal Bali, Hatten (WINE) meramaikan bursa minuman beralkohol di Indonesia.

“Satu fakta yang menarik: kami termasuk dalam kategori yang tidak terpengaruh oleh siklus ekonomi (non-cyclical) atau tahan pada ‘badai’ ekonomi yang terjadi. Enggak banyak emiten yang non-cyclical,” ujar Nico.

Pada saat IPO, BEER melepas paling banyak 800 juta saham yang setara 20 persen modal ditempatkan dan disetor penuh dengan harga Rp220 per saham. Dengan demikian, BEER meraup dana segar Rp176 miliar. Perusahaan yang memiliki dua distributor utama, 38 distributor di 33 provinsi, dan 20.000 gerai itu pun menjadi kian kuat setelah IPO dengan dukungan tim komisaris dan direksi yang lengkap, kata Nico. Pada kursi komisaris, ia dibantu oleh sejumlah nama seperti Arnold Limasnax,

Irjen Pol (Purn.) Bekto Suprapto, dan Rudy Hidayat. Sementara, pada jajaran direksi, selain Audy pada posisi direktur utama, ada Aditya Maulana Raja Badai Maas, dan Fajar Taufik Hidayatullah.

Setelah perusahaan berhasil memperkuat tata kelola—termasuk perizinan—dan mencatatkan diri sebagai perusahaan publik, maka langkah selanjutnya adalah mempersiapkan potensi perusahaan yang masih bisa tumbuh sampai 50 kali lipat. Dan salah satu peluang untuk menggapai itu, kata Audy, adalah menjadi produsen brand minuman dunia agar bisa memasarkan produknya di Indonesia dengan harga terjangkau.

“Sebagai contoh, 90 persen produk yang diminum di Thailand diproduksi di Thailand. Sedangkan, kita baru 10 persen saja. Itu kan gila TKDN-nya. Jadi, kalau kita mau membela industri dalam negeri, produk luar [negeri] mesti produksi di Indonesia,” kata Audy.

Walau telah ada beberapa jenama asing yang menghasilkan produknya di Tanah Air, banyak perusahaan minuman asing enggan mengikuti karena belum sepenuhnya yakin dengan ekosistem bisnis minuman beralkohol di Indonesia yang dianggap tidak stabil. Audy mengatakan perusahaan minuman alkohol dari luar negeri kemungkinan akan mengalami tingkat kesulitan yang berbeda saat memasuki pasar Indonesia, sekalipun sudah berhasil di negara lain, seperti Cina atau Amerika Serikat.

“Mungkin mereka sudah jago berenang di ‘sungai’, tapi belum tentu sama kalau di ‘laut’ karena permainan ini diawasi oleh negara dan lain sebagainya. Sementara, Indonesia sendiri punya potensi besar bagi pasar mereka,” kata Audy.

Jika ada perusahaan yang ingin bermitra dengan Jobubu, posisinya sebagai produsen minuman beralkohol akan beroleh nilai tambah. Sebab, di dalam negeri, mereka telah memiliki produk signature yang telah diakui masyarakat. “Dalam satu momentum, kami bisa menjadi mitra merek dunia di pasar lokal sekaligus punya merek lokal yang bisa kami perkenalkan untuk pasar dunia,” kata Audy.

Sebenarnya, untuk ekspor, Jobubu pernah melakukannya pada masa awal perusahaan berdiri. “Saat itu ke Jepang dan Cina, tapi kemudian ada COVID dan terpaksa berhenti karena pembatasan yang ketat. Kini, kami sedang melakukan penjajakan kembali, termasuk juga ke negara- negara lainnya,” ujar Audy.

Aksi Serius Cap Tikus

Cap Tikus sudah lama dikenal sebagai minuman berkadar alkohol tinggi. Bagi PT Jobubu Jarum Minahasa Tbk, Cap Tikus tidak hanya menguntungkan, tapi juga memberikan manfaat bagi 30.000 kepala keluarga petani air nira.

KALA KELUARGA Nico Lieke mendirikan bisnis penyulingan Cap Tikus pada 1978, cara produksi sopi tersebut masihlah tradisional dan berskala kecil. Pengelolaan bisnisnya pun belum tertata.

Puluhan tahun kemudian pada 2018, dia dan sang adik, Audy Charles Lieke membeli seluruh saham bisnis keluarganya itu dan mendirikan PT Jobubu Jarum Minahasa—kini menjadi ‘rumah’ bagi produk bernama resmi Cap Tikus 1978—dengan metode yang diterapkan untuk menghasilkan produknya telah jauh berubah. Pun tata kelola bisnisnya, yang sejak “tahun 1978...sudah memiliki izin resmi memproduksi minuman berkadar alkohol 1-55 persen,” kata Nico kepada Fortune Indonesia (2/5).

Pria yang merupakan komisaris utama Jobubu itu mengaku sebelum 2018 sama sekali tidak percaya diri membawa perusahaan menjadi lebih besar dengan tata kelola profesional. Pasalnya, Cap Tikus tidak sanggup bersaing di tengah gempuran minuman alkohol berkelas dunia yang masuk tanpa cukai dari pasar gelap dan dijual sangat murah.


Dia mencontohkan ada minuman dengan jenama internasional yang dihargai Rp400.000, sementara Cap Tikus keluaran pabriknya dibanderol Rp200.000 dengan ukuran sama. Nico hanya bisa pasrah. Siapa yang mau beli produknya jika selisih harga begitu tipis. Tetapi, pada suatu waktu, seorang rekannya dari pemerintahan meyakinkan bersaudara Nico
dan Audy untuk lebih serius mengurus Cap Tikus, dan itu hanya dapat dilakukan dalam naungan perusahaan resmi. Pada saat bersamaan, pemerintah merilis program pengampunan pajak atau tax amnesty pada 2016 dan membuat berbagai kebijakan untuk mengawasi peredaran minuman beralkohol di Indonesia secara lebih ketat. Merek internasional yang tadinya beredar di pasar dengan harga Rp400.000 harganya naik jadi Rp900.000-an.

Alumnus The Wharton School of Business, Pennsylvania, pada 1997 itu pun dapat bernafas lebih lega. Menurutnya pemerintah telah melakukan sesuatu yang tepat lewat program fiskal tersebut. “Kami sangat mendukung hal ini karena kami yang [berdagang] dengan jujur bisa terus hidup,” ujarnya.

Kejujuran dan tata kelola yang bersih merupakan komitmen bersama Nico dan Audy. Terlebih, usaha mereka bersinggungan dengan produk beralkohol yang kerap dipandang miring. Dalam hemat Nico, integritas merupakan salah satu nilai penting yang dianut Jobubu untuk bisa terus beroperasi secara berkelanjutan. Minuman beralkohol termasuk sebagai objek pengawasan ketat dari negara yang memiliki memiliki high barrier of entry, kata Audy, Direktur Utama Jobubu. “Namun kami bersih dari hulu ke hilir, soal bea cukai dan pajak dari setiap produksi. Semua kami penuhi tanpa kecurangan dari A sampai Z,” ujarnya kepada Fortune Indonesia (2/5).

Pengakuan tersebut muncul sebagai tanggapan atas perspektif negatif yang mendera bisnisnya pada periode awal beroperasi. berbagai pandangan dan komentar tidak mengenakkan datang silih berganti sebagai ujian. Dan ketika akhirnya pihak-pihak itu memberikan pengakuan bahwa bisnis Jobubu bersih, Nico dan Audy merasa bahwa mereka lulus ujian.

Apalagi, Jobubu memberikan bukti nyata ke lingkungannya dengan menjadi perusahaan yang menjadi penyumbang cukai terbesar pada 2020-2023 untuk kawasan Sulawesi bagian Utara (Sulbagtara) yang meliputi Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah. Selain itu, Jobubu juga pernah dinobatkan sebagai Perusahaan Cukai Teraktif Tahun 2021 dan Pengguna Jasa Terbaik di Bidang Cukai Tahun 2023. Bahkan, Kantor Wilayah Bea dan Cukai Sulbagtara mengakui bahwa kontribusi Jobubu pada penerimaan negara mencapai 95 persen.

“Apa yang kami omongkan itu benar-benar kami jalankan. Penghasilannya benar kok. Bahkan mereka selalu cek. Dengan ini, maka timbul trust dari pemerintah, sehingga mereka mendukung kami,” ujar Audy yang menambahkan bahwa produk-produknya aman karena menggunakan bahan alami dan tidak menyertakan methanol yang merupakan racun dalam alkohol.

 “Jenis oplosan yang ilegal biasanya masih mengandung  racun, sementara Cap Tikus sejak 1978 bersih dari racun. Kami telah mendapat sertifikasi BPOM, HACCP (Hazard Analysis Control and Critical Points), bahkan ISO 22000— sertifikasi tertinggi kebersihan dan keamanan pangan.

Jobubu juga bergerak dengan memperhatikan asas keberman- faatan, dan di antara praktik terpentingnya adalah pemberdayaan para petani Minahasa yang telah turun-temurun hidup dari menyadap nira. Audy mengatakan perusahaannya yang mengambil bahan baku produknya dari sekitar 30.000 petani bukan semata sebagai tanggung jawab perusahaan, tapi juga bagian penting dari keberlangsungan Jobubu. Bahkan, Audy meyakinkan bahwa perusahaan tidak akan membuat perkebunan sendiri karena menginginkan 100 persen bahan baku Cap Tikus tetap diambil dari para petani Minahasa melalui koperasi-koperasi yang bekerja sama dan dibina Jojobu.

Langkah tersebut memang tidak serta-merta membuat semua hasil panen nira sesuai dengan standar kualitas perusahaan, kata Nico. Namun, teknologi pengolahan dapat menyiasati kekurangan tersebut. Dari sumber yang tidak sesuai standar itu, perusahaan akan melakukan fermentasi dan melakukan proses destilasi berulang kali hingga mencapai kualitas yang diinginkan. “Banyak petani yang bahkan bisa menyekolahkan anaknya dari penjualan air nira ini,” ujarnya.

Meski demikian, puluhan ribu petani yang membantu Jobubu dalam hal sumber nira tersebut hanya memenuhi sekitar 2 persen kapasitas produksi minuman beralkohol yang Jobubu hasilkan. Padahal izin yang telah dikantongi perusahaan untuk memproduksi minuman keras dengan total kapasitas 90 juta liter per tahun— saat ini kapasitas produksi yang terpakai Jobubu berkisar 180.000 liter—dapat mendongkrak peluang untuk mempekerjakan lebih banyak petani aren.

Dari total kapasitas tersebut, Jobubu membaginya menjadi beberapa: 45 juta liter untuk golongan A (kadar alkohol 0,1–5 persen) yang diwakili oleh Daebak Spark yang berkadar 5 persen; 22,5 juta liter untuk golongan B (kadar 5,01–20 persen) yang diisi Soju Daebak dengan kandungan 12–19,9 persen; dan 22,5 juta liter untuk golongan C (kadar 20,01–55 persen) yang diwakili oleh Cap Tikus yang kadar alkoholnya 43 persen. Dengan produksi yang baru memenuhi 2 persen dari total kapasitas, produksi Jobubu masih bisa tumbuh hingga 50 kali lipat.

“Izin produksi kami yang kedua terbesar di Indonesia [untuk produsen minuman alkohol. Tapi, produsen terbesar hanya bisa produksi minuman alkohol golongan A, sementara kami bisa menyediakan banyak ruang untuk produk dari semua golongan,” kata Nico.

Potensi besar yang barusan disebut bukan hanya mimpi belaka. Perusahaan membuktikannya dengan laporan kinerja positif
dari tahun ke tahun. Pada 2020, pendapatannya mencapai Rp17,65 miliar dengan laba tahun berjalan mencapai Rp1,03 miliar. Sementara pada 2023, pendapatannya telah mencapai Rp90,09 miliar dengan laba tahun berjalan Rp16,31 miliar.

Lonjakan kinerja itulah yang menjadi landasan keputusan perusahaan untuk melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode emiten BEER pada awal 2023. “Perusahaan minuman beralkohol itu sering dianggap dekat dengan dunia gelap. Tetapi, lewat IPO pada 2023, kami mau berbisnis dengan bersih. Banyak kok perusahaan whisky, soju, sake, atau bir yang juga jadi perusahaan terbuka. Mereka berkontribusi banyak buat negara. [IPO] ini sudah kami rancang sejak 2019,” kata Nico.

Menurutnya, dengan menjadi perusahaan terbuka, Jobubu akan lebih transparan lagi di mata publik sebagai perusahaan yang memang menjalankan bisnis minuman beralkohol. Namun, di sisi lain, perusahaan pun wajib untuk terus menjamin tata kelola perusahaan yang patuh regulasi dan menjaga kualitas produk-produknya.

Nico menyatakan tidak mudah bagi perusahaan minuman alkohol untuk bisa melantai di BEI, mengingat selama bertahun-tahun hanya ada dua emiten minuman alkohol yang jadi emiten, yakni Multi Bintang (MLBI) dan Delta (DLTA), sampai akhirnya BEER dan produsen wine asal Bali, Hatten (WINE) meramaikan bursa minuman beralkohol di Indonesia.

“Satu fakta yang menarik: kami termasuk dalam kategori yang tidak terpengaruh oleh siklus ekonomi (non-cyclical) atau tahan pada ‘badai’ ekonomi yang terjadi. Enggak banyak emiten yang non-cyclical,” ujar Nico.

Pada saat IPO, BEER melepas paling banyak 800 juta saham yang setara 20 persen modal ditempatkan dan disetor penuh dengan harga Rp220 per saham. Dengan demikian, BEER meraup dana segar Rp176 miliar. Perusahaan yang memiliki dua distributor utama, 38 distributor di 33 provinsi, dan 20.000 gerai itu pun menjadi kian kuat setelah IPO dengan dukungan tim komisaris dan direksi yang lengkap, kata Nico. Pada kursi komisaris, ia dibantu oleh sejumlah nama seperti Arnold Limasnax,

Irjen Pol (Purn.) Bekto Suprapto, dan Rudy Hidayat. Sementara, pada jajaran direksi, selain Audy pada posisi direktur utama, ada Aditya Maulana Raja Badai Maas, dan Fajar Taufik Hidayatullah.

Setelah perusahaan berhasil memperkuat tata kelola—termasuk perizinan—dan mencatatkan diri sebagai perusahaan publik, maka langkah selanjutnya adalah mempersiapkan potensi perusahaan yang masih bisa tumbuh sampai 50 kali lipat. Dan salah satu peluang untuk menggapai itu, kata Audy, adalah menjadi produsen brand minuman dunia agar bisa memasarkan produknya di Indonesia dengan harga terjangkau.

“Sebagai contoh, 90 persen produk yang diminum di Thailand diproduksi di Thailand. Sedangkan, kita baru 10 persen saja. Itu kan gila TKDN-nya. Jadi, kalau kita mau membela industri dalam negeri, produk luar [negeri] mesti produksi di Indonesia,” kata Audy.

Walau telah ada beberapa jenama asing yang menghasilkan produknya di Tanah Air, banyak perusahaan minuman asing enggan mengikuti karena belum sepenuhnya yakin dengan ekosistem bisnis minuman beralkohol di Indonesia yang dianggap tidak stabil. Audy mengatakan perusahaan minuman alkohol dari luar negeri kemungkinan akan mengalami tingkat kesulitan yang berbeda saat memasuki pasar Indonesia, sekalipun sudah berhasil di negara lain, seperti Cina atau Amerika Serikat.

“Mungkin mereka sudah jago berenang di ‘sungai’, tapi belum tentu sama kalau di ‘laut’ karena permainan ini diawasi oleh negara dan lain sebagainya. Sementara, Indonesia sendiri punya potensi besar bagi pasar mereka,” kata Audy.

Jika ada perusahaan yang ingin bermitra dengan Jobubu, posisinya sebagai produsen minuman beralkohol akan beroleh nilai tambah. Sebab, di dalam negeri, mereka telah memiliki produk signature yang telah diakui masyarakat. “Dalam satu momentum, kami bisa menjadi mitra merek dunia di pasar lokal sekaligus punya merek lokal yang bisa kami perkenalkan untuk pasar dunia,” kata Audy.

Sebenarnya, untuk ekspor, Jobubu pernah melakukannya pada masa awal perusahaan berdiri. “Saat itu ke Jepang dan Cina, tapi kemudian ada COVID dan terpaksa berhenti karena pembatasan yang ketat. Kini, kami sedang melakukan penjajakan kembali, termasuk juga ke negara- negara lainnya,” ujar Audy.