Cap Tikus sudah lama dikenal sebagai minuman berkadar alkohol tinggi. Bagi PT Jobubu Jarum Minahasa Tbk, Cap Tikus tidak hanya menguntungkan, tapi juga memberikan manfaat bagi 30.000 kepala keluarga petani air nira.
KALA KELUARGA Nico Lieke mendirikan bisnis penyulingan Cap Tikus pada 1978, cara produksi sopi tersebut masihlah tradisional dan berskala kecil. Pengelolaan bisnisnya pun belum tertata.
Puluhan tahun kemudian pada 2018, dia dan sang adik, Audy Charles Lieke membeli seluruh saham bisnis keluarganya itu dan mendirikan PT Jobubu Jarum Minahasa—kini menjadi ‘rumah’ bagi produk bernama resmi Cap Tikus 1978—dengan metode yang diterapkan untuk menghasilkan produknya telah jauh berubah. Pun tata kelola bisnisnya, yang sejak “tahun 1978...sudah memiliki izin resmi memproduksi minuman berkadar alkohol 1-55 persen,” kata Nico kepada Fortune Indonesia (2/5).
Pria yang merupakan komisaris utama Jobubu itu mengaku sebelum 2018 sama sekali tidak percaya diri membawa perusahaan menjadi lebih besar dengan tata kelola profesional. Pasalnya, Cap Tikus tidak sanggup bersaing di tengah gempuran minuman alkohol berkelas dunia yang masuk tanpa cukai dari pasar gelap dan dijual sangat murah.
Dia mencontohkan ada minuman dengan jenama internasional yang dihargai Rp400.000, sementara Cap Tikus keluaran pabriknya dibanderol Rp200.000 dengan ukuran sama. Nico hanya bisa pasrah. Siapa yang mau beli produknya jika selisih harga begitu tipis. Tetapi, pada suatu waktu, seorang rekannya dari pemerintahan meyakinkan bersaudara Nico
dan Audy untuk lebih serius mengurus Cap Tikus, dan itu hanya dapat dilakukan dalam naungan perusahaan resmi. Pada saat bersamaan, pemerintah merilis program pengampunan pajak atau tax amnesty pada 2016 dan membuat berbagai kebijakan untuk mengawasi peredaran minuman beralkohol di Indonesia secara lebih ketat. Merek internasional yang tadinya beredar di pasar dengan harga Rp400.000 harganya naik jadi Rp900.000-an.
Alumnus The Wharton School of Business, Pennsylvania, pada 1997 itu pun dapat bernafas lebih lega. Menurutnya pemerintah telah melakukan sesuatu yang tepat lewat program fiskal tersebut. “Kami sangat mendukung hal ini karena kami yang [berdagang] dengan jujur bisa terus hidup,” ujarnya.
Kejujuran dan tata kelola yang bersih merupakan komitmen bersama Nico dan Audy. Terlebih, usaha mereka bersinggungan dengan produk beralkohol yang kerap dipandang miring. Dalam hemat Nico, integritas merupakan salah satu nilai penting yang dianut Jobubu untuk bisa terus beroperasi secara berkelanjutan. Minuman beralkohol termasuk sebagai objek pengawasan ketat dari negara yang memiliki memiliki high barrier of entry, kata Audy, Direktur Utama Jobubu. “Namun kami bersih dari hulu ke hilir, soal bea cukai dan pajak dari setiap produksi. Semua kami penuhi tanpa kecurangan dari A sampai Z,” ujarnya kepada Fortune Indonesia (2/5).
Pengakuan tersebut muncul sebagai tanggapan atas perspektif negatif yang mendera bisnisnya pada periode awal beroperasi. berbagai pandangan dan komentar tidak mengenakkan datang silih berganti sebagai ujian. Dan ketika akhirnya pihak-pihak itu memberikan pengakuan bahwa bisnis Jobubu bersih, Nico dan Audy merasa bahwa mereka lulus ujian.
Apalagi, Jobubu memberikan bukti nyata ke lingkungannya dengan menjadi perusahaan yang menjadi penyumbang cukai terbesar pada 2020-2023 untuk kawasan Sulawesi bagian Utara (Sulbagtara) yang meliputi Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah. Selain itu, Jobubu juga pernah dinobatkan sebagai Perusahaan Cukai Teraktif Tahun 2021 dan Pengguna Jasa Terbaik di Bidang Cukai Tahun 2023. Bahkan, Kantor Wilayah Bea dan Cukai Sulbagtara mengakui bahwa kontribusi Jobubu pada penerimaan negara mencapai 95 persen.
“Apa yang kami omongkan itu benar-benar kami jalankan. Penghasilannya benar kok. Bahkan mereka selalu cek. Dengan ini, maka timbul trust dari pemerintah, sehingga mereka mendukung kami,” ujar Audy yang menambahkan bahwa produk-produknya aman karena menggunakan bahan alami dan tidak menyertakan methanol yang merupakan racun dalam alkohol.